Jan 19, 2012

"Konflik SARA di Indonesia"

Kekerasan berbau SARA kembali menghiasi pemberitaan media massa di  Indonesia. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, untuk kesekian kalinya kelompok Ahmadiyah kembali menjadi sasaran penyerangan oleh sekelompok orang, di mana dalam peristiwa yang terjadi di desa Cikeusik, Pandeglang, Banten (Minggu (6/2), tiga warga Ahmadiah tewas. Tak lama setelah itu, akibat ketidakpuasaan terhadap proses pengadilan, sekelompok umat tertentu melakukan penyerangan terhadap beberapa tempat ibadah umat lain di Temanggung (Selasa 8/2). Kekerasan semacam ini tentu saja menciderai ketenangan kehidupan beragama di dalam masyarakat, dan di tingkat internasional, telah mencoreng wajah Indonesia yang sering mencitrakan diri sebagai negara yang menghormati kebebasan beragama. Orang lantas bertanya-tanya tentang masih adakah ruang kebebasan beragama di republik ini. 

Persoalan doktrin

Dalam pemberitaan di berbagai media massa, kerap terbaca bahwa perbedaan doktrin dianggap sebagai penyebab utama terjadinya konflik beragama, sebuah klaim yang agak sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Dalam kasus Ahmadiyah, banyak pihak menuding bahwa keyakinan  terhadap kenabian Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri, dan tafsiran terhadap al-Quran dan al-Hadis yang dirasa menyimpang dari pandangan mayoritas umat Islam, merupakan akar penyebab konflik sosial terhadap pengikut Ahmadiyah. Maka, solusinya, termasuk yang disuarakan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Surya Dharma Ali (Tempo Interaktif, Selasa (8/2), Ahmadiyah harus membentuk agama tersendiri.

Mereka  berasumsi, dengan menjadi agama baru (dengan nabi dan kitab tersendiri), umat Muslim tidak akan lagi berselisih dengan mereka.
Pandangan semacam ini tentu saja janggal, karena tidak sesuai dengan fakta sejarah terbentuknya kelompok agama baru. Secara umum, agama baru pada awalnya merupakan sebuah gerakan pembaharuan terhadap agama induk dan tidak bermaksud untuk membentuk agama tersendiri. Hal inilah yang terjadi misalnya pada agama Kristen di mana hanya setelah terjadi situasi tertentu, muncul  tokoh yang berperan besar dalam melakukan pemisahan diri, seperti yang ditunjukkan oleh Rasul Paulus.

Pada tingkat negara, pemerintah harus kembali pada konstitusi, Undang-Udang Dasar 1945, yang telah secara jelas memberikan jaminan kebebasan menjalankan ibadah dan keyakinan kepada setiap pemeluk agama. Pemerintah harus memainkan perannya sebagai bapak yang adil dan bijaksana  dan menghindari politisasi perbedaan keyakinan untuk kepentingan politik. Di lain pihak, aparat keamanan dan hukum harus bertindak tegas terhadap mereka yang mencoba mengusik ketenangan beragama. Mereka tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang hanya membela kepentingan kelompok tertentu.

Sebagai kesimpulan, akar konflik agama tidaklah tunggal yang semata-mata berdasarkan perbedaan keyakinan dan doktrin, sehingga penyelesaiannya harus mempertimbangkan faktor politik, ekonomi dan sosial, dan lain-lain. Di sisi lain, perbedaan dalam beragama harus dihormati, bahkan dijadikan sebagai rahmat bagi umat manusia .
 

3 comments:

  1. yg baru tuh di madura, syiah, lagi rame juga, itu keyakinan juga kan?
    mampir jg ke blogku di http://editag.blogspot.com ya, thx

    ReplyDelete
  2. thanks .. I just search this article from Mr.google and i give some additional .. :)

    ReplyDelete