Iklan menarik perhatian pelanggan semakin bertebaran di mana-mana, dari pelosok desa sampai dengan wilayah perkotaan. Sarat iklan. Apalagi era teknologi informasi dan komunikasi, wah sepi tanpa iklan.
“Belanja iklan” bagi perusahaan kian penting dan wajib mengisi pundi-pundi periuk dapur. Karena “belanja iklan” bagi perusahaan semakin marak, tak segan-segan perusahaan tertentu mematok biaya yang keluar lebih tinggi daripada yang masuk. Pola pikir yang dipakai berjangka panjang. Bertahun-tahun berjuang dan beriklan hanya lantaran memperkenalkan produk hingga terkenal yang berdaya jual tinggi.
Atas dasar itu, semakin banyak saja cara perusahaan beriklan. Kalau pengiklan memiliki “mentalitas menerabas”, tampaklah cerminan iklan yang ditampilkan asal-asalan. Iklan yang beretika menjunjung tinggi dan menghormati sasaran pengiklan, ternyata hasilnya jauh lebih efektif dan manjur ketimbang iklan seenaknya dan sekenanya.
ciri-ciri iklan yang menarik hati pelanggan dapat dicermati seperti berikut ini.
1. Iklan bertanda asterisk (*)
Iklan ini termasuk iklan menipu dan biasanya dengan tanda asterisk (*). Kalau tampak dari kejauhan sejauh mata memandang, atau kalau sekilas waktu baca dan waktu lihat, maka tanda asterisk ini enggak “bunyi”. Justru pengiklan yang tak beretika memang bermaksud mengecoh konsumen. Oleh karena itu, tanda asterisk (*) jadi obat penawar yang mujarab.
Tahu-tahu berlalunya waktu cepat sekali, eh konsumen yang disasar — setelah terpaku pada bunyi iklan yang menarik hati itu — sudah berada di depan barang yang diiklankan. Siap beli, siap ambil, dengan catatan tanda asteriks menunjukkan bahwa barang yang diiklankan hanya produk tertentu, misalnya.
2. Iklan inden (dan berhadiah)
Nah, ini dia ada iklan terbaru dengan mobil dan motor terbaru, terkini, terandal. Sekarang cobalah amati dengan cermat, selain bisa inden, artinya pembeli bisa pesan dulu, eh ndilalah berhadiah pula. alamak. Puri gonggo, kelelawar bulu kuduk, gajah bleduk, itu iklan betul-betul akal-akalan pengiklan memasuki era TIK. Dahsyat sekali pengaruh iklan produk inden! Calon pembeli sungguh-sungguh terpuaskan membeli produk yang belum ada barang. Di tangan produsen barang yang dijual sebetulnya belum ada, kalau toh ada sebagai sample atau contoh produk. Lantas, sebagai tanda jadi atas pembelian barang yang ditawarkan, patut dan sepantasnya pembeli menerima hadiah. Busyettt, …. luarbiasa. Strategi pengiklan yang strategis dan jitu. Biasanya strategi penjual memuaskan dan mengikat pembeli membuat produsen memiliki modal usaha dan modal kerja diawal. Vitamin D alias duit yang masuk dari barang inden sudah cukup untuk mengetahui jumlah mobil dan motor yang harus diproduksi, misalnya.
3. Iklan berhadiah bagi 1.000 pembeli pertama
H Bagi seribu pembeli pertama pastilah hadiah siap ditangan. Jangan ragu, berapa pun pembeli yang masuk ke penjual, jumlah seribu cukup sulit mendeteksinya. Apalagi kalau unit usaha bercabang-cabang. Hadiah menyebar ke pembeli belum bisa merata, kalau hadiah habis, penjual bisa meminta lagi ke cabang yang lain. Pokoknya, seribu pembeli pertama tampaknya tiada hitungan yang masuk akal. Alat ukur yang dipakai untuk mengetahui seribu pembeli pertama tercapai masih masuk kategori akal-akalan penjual plus pengiklan.
4. Iklan bersyarat dan ketentuan berlaku
Teks syarat dan ketentuan berlaku letaknya tersimpan, di sudut, di tengah, dan kecil ukuran jenis hurufnya. Pembeli mula-mula senang begitu iklannya merasuk ke relung hati hingga sampai pada rencana atau respons untuk memiliki barang. Namun, ketika tiba pada ayat syarat dan ketentuan berlaku, banyak calon pembeli jadi kecewa ketika ketentuan dan syarat itu tidak ada pada diri pembeli. Apa lacur, si calon pembeli sudah ada di depan penjual, ….
5. Iklan berbonus pulsa
Lagi-lagi daya tarik iklan dengan memberi bonus pulsa kian menjadi-jadi. Sekali kirim surat-menyurat singkat atau SMS dengan vendor atau operator, bonus pulsa ada ditangan. Bonus ada ditangan setelah kirim-mengirim berkali-kali atau terjadi jika pengirim menjawab pertanyaan yang muncul dari perusahaan penyelenggara. Kalau pengirim menuruti perintah dengan teratur, bonus barulah diberikan. Jenis bonus ini tidak konkret karena pengirim wajib menunggu otorisasi penyelenggara.
6. Iklan hanya barang tertentu
Sale 50% wah gede banget, lumayanlah. Harga sepatu asli buatan negeri paman Sam berbanderol Rp300.000, misalnya kalau diskon 50% bukan main murahnya. Pola iklan ini mujarab untuk mengecoh calon pembeli. Setelah menimang-nimang, menimbang-nimbang, akhirnya memilih barang yang cocok, sampai di kasir bukan rasa senang yang muncul, melainkan rasa kecewa. Apalagi kalau rasa kecewa ini baru muncul di rumah kediaman atau tempat tinggal alias saat tiba di rumah. Dua kali lipat rasa kecewa muncul. Begitu komplain, balik lagi ke penjual, ternyata betullah harga yang digesek berlaku tanpa diskon. Lalu telusuri saja kenapa hal itu terjadi? Jawabannya mudah saja. Diskon hanya berlaku pada produk tertentu. Cuma teks produk tertentu seperti tampak pada dua foto di atas karya Wisnu Nugroho, redaktur Info Komputer di Wisma Kota BNI 46 Jenderal Sudirman Jakarta sebagai bukti iklan atau billboard/poster pengecoh untuk calon pembeli yang salah alamat, tapi sudah sudi mampir di gerai penjual berdiskon gede.
Prinsip pembeli sebetulnya mudah saja kalau berhasrat menginginkan barang dengan harga diskon. Belilah barang yang benar-benar sudah tahu dan perlu untuk dimiliki. Tanpa pengetahuan dan keperluan yang mumpuni, pembeli sering “tertipu”. Pokoknya, mana ada penjual yang mau merugi atas barang dagangan yang dijajakan, sekecil apa pun ongkos yang mesti dikeluarkan untuk beriklan.***
Dalam menyampaikan pesan produk, pihak produsen lebih memilih siaran televisi sebagai media dipakai untuk ajang promosi, televisi dianggap lebih efektif dan merupakan media yang dapat menjangkau sasaran yang lebih luas dalam waktu yang relatif singkat.
Produk yang diiklankan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, bagi masyarakat iklan sifatnya informatif, bagi mereka beberapa iklan memang ditunggu karena kebutuhannya. Misalnya saja iklan obat-obatan, barang-barang elektronika, pelayanan jasa dan sebagainya.
Namun, tidak kesemua iklan-iklan tersebut mempunyai pesan positif, beberapa diantara iklan tersebut justru memberikan pendidikan yang tidak baik dan cenderung merusak. Di Amerika, iklan-iklan yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan kegunaan produk maka pihak produsen dapat diperkarakan secara hukum. Bahkan bila kita tidak menyukai iklan tersebut atau merasa terganggu karenanya dapat mengadu ke lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mengkampanyekan anti iklan-iklan negatif (lihat: www.badads.org )
Bagaimana dengan di Indonesia? Mungkin kita perlu berhati-hati dengan produk atau pelayanan jasa yang diberikan oleh suatu instansi, perusahaan atau lembaga tertentu, kita tidak bisa sembarang memberikan kritik, saran atau keluhan secara bebas bila produk atau jasa yang diberikan tidak sesuai dengan iklan, lebelisasi, atau promosi ke khalayak umum. Perlindungan konsumen di Indonesia pun tidak terjamin, sangat sulit dan jarang sekali dimana konsumen dapat memenangkan sebuat tuntutan hukum karena dirugikan oleh pihak produsen.
Kasus sengketa antara Prita Mulyasari dan Rumah Sakit Omni, memberikan pelajaran penting buat kita semua, tidak sekedar pencemaran nama baik, pelanggaran kode etik atau kaidah norma-norma yang berlaku dalam berinternet.
Dalam kasus tersebut ada “sesuatu” yang terasa kurang di dalam perlindungan konsumen, “sesuatu” itu berupa sebuah wadah yang dapat menampung semua aspirasi konsumen yang merasa dirugikan, tentunya dilanjutkan dengan tindakan-tindakan yang tepat untuk mencegah “penipuan” yang lebih meluas.
Mengingat agar tidak terulang lagi kasus yang serupa, tentunya kita mengharapkan adanya undang-undang yang melindungi konsumen yang lebih jelas dalam implimentasinya jika hanya dibandingkan dalam bentuk wacana saja. Dengan kondisi dan situasi sosial yang tidak mendukung konsumen, maka diperlukan cara-cara cerdas untuk memberikan informasi yang tepat kepada konsumen.
Banyak iklan-iklan tesebut berupaya meyakinkan konsumen bahwa produknya merupakan yang terbaik diantara beberapa produk massa yang ada. Terlepas apakah produk tersebut dapat bermanfaat dan benar adanya seperti iklan yang mereka sampaikan —selaku pengguna dan pemakai maka kita perlu bersikap hati-hati agar tidak terbujuk oleh propaganda bombastis iklan-iklan.
Inilah ciri-ciri iklan yang sifatnya bombastis, berkecenderungan menipu konsumen, menggunakan kata-kata di bawah ini:
1) Satu-satunya, hanya, luar biasa, tercanggih, rahasia, nomor satu
Kata-kata tersebut dapat ditemukan pada baris kalimat seperti:
"Kamilah satu-satunya produk yang dapat..."
"...merupakan produk tercanggih..."
"... produk nomor satu di dunia"
Banyak produsen mengklaim produknya sebagai produk nomor satu dunia, kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa produknya merupakan produk yang dikenal orang, tapi hal ini tidak menunjukkan bahwa produk tersebut sebagai nomor wahid di dunia. Pernahkah Anda melihat sebuah iklan dimana produk tersebut mengklaim dirinya sebagai nomor 2 di dunia?
Pernah dengar bagaimana sebuah produk mengklaim sebagai produk rahasia turun-temurun? Apa yang menjadi rahasia? Apa artinya rahasia bila semua orang tahu? Lucu bukan?
2) Menggunakan angka-angka seperti; 100%
Pada awalnya angka yang dimulai dari 90% sampai dengan 99% jarang ditemukan atau dimasukan ke dalam iklan, namun semakin cerdasnya orang maka angka tersebut perlu dimunculkan untuk menggantikan angka sempurna, semakin banyak orang mengerti akan tingkat kemungkinan (probability) maka semakin tahu bahwa angka 100% adalah angka mustahil yang dapat diraih dengan mengesampingkan error sampling.
3) Cara mudah, lebih singkat, tidak perlu bersusah payah, revolusioner
Sebuah iklan dengan menggunakan kata-kata “cara mudah” artinya bahwa sesuatu itu dapat diperoleh secara instant, mudah, tidak perlu bersusah payah, praktis. Iklan ini mengajarkan bahwa sesuatu itu dapat diperoleh dengan satu-satunya cara yang dapat ditempuh (tentunya dengan cara mudah) tanpa perlu bekerja keras. Padahal segala sesuatunya tidak ada yang dapat diperoleh dengan waktu singkat atau dengan cara mudah. IKlan bombastis ini sering ditemukan pada iklan produk pelangsing tubuh.
4) Bandingkan
Pembuat iklan berusaha untuk menarik perhatian konsumen dengan cara membandingkan produknya dengan produk siluman, artinya sebuah produk lain sebagai pembanding yang menjadi saingannya. Tentunya dalam iklan tersebut sudah dapat dipastikan bahwa hanya produk tersebutlah yang terbaik. Persaingan iklan ini dapat dilihat secara jelas pada televisi di Amerika terutama persaingan antara Pepsi dan Coca-cola di tahun 1990an.
Di Indonesia persaingan iklan terlihat jelas pada sabun cuci, hanya saja gambar produk pembanding dikaburkan atau diberi tanda produk X. Undang-undang persaingan usaha membatasi persaingan untuk saling menjatuhkan atau menjelekkan produk yang lain.
Beberapa produk lainnya berusaha menciptakan sebuah perbandingan semu, dimana adanya perbedaan nyata bila menggunakan produk yang diiklankan dibandingkan tidak memakai produk tersebut, iklan perawatan rambut hampir semua menggunakan cara seperti ini.
5) Terpercaya
Banyak iklan mengklaim dirinya sebagai salah satu produk terpercaya, lebelisasi juga berlanjut di produk tersebut. Sebenarnya bagaimana disebut sebagai produk yang dipercaya oleh masyarakat?
Sebuah broadband terpercaya adalah sebuah produk dimana pihak produsen akan selalu memperhatikan akan kepuasaan konsumen, oleh karena itu maka sebuah produk terpercaya;
1) mempunyai kontak informasi 24 jam
2) memperhatikan keluhan konsumen dari setiap media, dan memberikan respon positif
3) mengganti kerugian konsumen bila ada konsumen merasa dirugikan
4) menarik produksi bila ditemukan adanya kerusakan atau cacat produksi disertai mengganti kerugian konsumen. (masih ingat bagaimana Opel menarik kendaraannya 70.000 unit di pasaran Eropa beberapa tahun lalu karena adanya kesalahan produksi kecil pada pengisian BBM?)
5) melakukan survei akan kepuasan konsumen secara berkala
6) terbuka, tidak menggunakan bahan-bahan yang dapat membahayakan atau merugikan konsumen dalam proses produksinya. [PD]
No comments:
Post a Comment